Selasa, 22 April 2008

Semiloka Nasional Kaum Muda NU-Muhammadiyah

”Sinergi Potensi Bangsa Untuk Indonesia Sejahtera”
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM)
Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)


Latar Belakang Pemikiran

Sepuluh tahun reformasi bergulir, Indonesia belum juga mampu menyelesaikan problem klasiknya: kemiskinan, kebodohan, pengangguran, serta masalah-maslah sosial lainnya, baik yang sedang dihadapi maupun yang akan dihadapi oleh warga bangsa yang kita cintai ini.
Namun kita juga harus jujur mengatakan bahwa sudah banyak juga di beberapa hal yang sudah mengalami kemajuan, tapi ada juga sebagian yang lain masih mengalami jalan di tempat bahkan ada juga sektor yang mengalami kemunduran. Fluktuasi perjalanan bangsa saat ini belum seluruhnya mengarah pada Indonesia yang dicita-cita kan oleh the Founding Fathers Bangsa ini menuju bangsa yang sejahtera, aman dan damai, atau dalam bahasa Islam dikenal dengan baldhatun thayyibatun warabbun ghafur.

Memang sungguh tidak gampang dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membawa bangsa Indonesia menuju bangsa yang sejahtera sebagaimana yang telah diamanhkan oleh Undang-undang Dasar 45. Namun paling tidak, ada tahapan-tahapan yang jelas, terukur dan terarah untuk menggapainya. Dengan demikian hendaknya segenap potensi bangsa perlu disinergikan dan bersinerji agar tercipta ’kebersamaan menuju kebahagiaan’. Energi segenap elemen bangsa tidak seyogyanya dihabiskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, atau malah terbuang tampa manfaat.
Sayangnya, realitas kehidupan berbangsa dan bernegara lebih sering terfragmentasi dalam kepentingan yang bersifat faksional. Kebersamaan masih dalam batasan slogan dan lip service, karena senyataannya masih banyak diantara generasi muda bangsa yang masih terkotak-kotakan, banyak juga diantara mereka-mereka yang berbeda pendapat bahkan berujung polemik yang berimplikasi pada konflik dan kekerasan.
Semestinya potensi bangsa yang banyak dan beragam ini merupakan sebuah kekuatan dan aset yang mahadasyat bila dapat termanfaatkan dengan baik dalam koridornya yang benar. Pandangan dan sikap saling melengkapi serta menguatkan, berbasis pada sumbangsih yang dapat diberikan trsebut merupakan ’energi baru’ bagi bangsa dalam mencapai cita-cita kesejahteraan dan kmakmurannya.
Karenanya, diperlukan langkah untuk terus mengkampanyekan kebersamaan dalam gerak dan langkah antar elemen bangsa yang beragam itu. Slogan ’bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’ masih layak tetap dijadikan pegangan. Apalagi mengingat tantangan globalisasi yang semakin manives dan berat sekarang ini membutuhkan respon secara lebih matang disertai kebersamaan yang semakin dieratkan.
Dengan demikian Kaum Muda NU dan Muhammadiyah berupaya mengambil peran dalam kapasitasnya sosial kontrol serta sebagai kawah candradimuka dan tempat penggemblengan dan penggodokan kader persyarikatan, umat dan bangsa bagi dua oraganisasi Islam terbesar negeri ini. Di samping itu karena dilatari pandangan bahwa anak mudalah yang harus memulai perubahan sekaligus melakukan pengawalan, melalui pencarian solusi yang sistemik bagi problematika kebangsaan hari ini menuju Indonesia sejahtera dimasa yang akan datang.

Kegiatan

Kegiatan ini dinamakan ”Seminar dan Lokakarya Nasional Kaum Muda NU-Muhammadiyah”. Kegiatan ini merupakan kerjasama empat organisasi otonom di bawah NU dan Muhammadiyah terdiri dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) dan Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (IPPNU) yang selama ini membuat poros komunikasi strategis untuk kemajuan bangsa.

Tujuan.

Menjalin kebersamaan yang erat antara kaum muda NU-Muhammadiyah
Memadukan potensi dan sinergi gerakan.
Mendialogkan problematika mutakhir kebangsaan.
Mendapatkan rumusan strategis untuk pembangunan kesejahteraan dan kemaslahatan bangsa kedepan.

Tema.
Semiloka mengambil tema ”Sinergi Potensi Bangsa Untuk Indonesia Sejahtera”. Kegiatan ini terbagi kedalam beberapa sesi sebagai berikut:
Sesi 1: Menggagas Ekonomi Indonesia Sejahtera, Dari Retorika Menuju Realita
Sesi 2: Strategi Pendidikan Indonesia yang Berkualitas Tanpa Komersialitas
Sesi 3: Menguatkan Jatidiri Generasi Muda Indonesia di Tengah Arus Globalisasi
Waktu dan Tempat.
Kegiatan ini akan berlangsung selama 3 hari, seminar bertempat di Hotel THE ACACIA JL. Kramat Raya Jakarta pada hari Jumat – Minggu tanggal 17-19 Mei 2008, dilanjutkan lokakarya perumusan sinergi di Villa Ciloto- Puncak Jawa Barat.

Sasaran
Peserta seminar terdiri :
kepengurusan masing-masing organisasi IMM, IPNU, IRM, IPPNU setingkat wilayah seluruh Jawa.
kepengurusan setingkat cabang se-Jabodetabek IMM, IPNU, IRM, IPPNU.
Undangan pihak luar OKP, ORMAS pusat.
elemen pelajar, pemuda dan mahasiswa se-jabodetabek
Peserta Workshop terdiri:
pengurus setingkat wilayah propinsi se-Jawa dari empat organisasi berjumlah 48 orang, masing-masing wilayah mengirimkan 2 orang.


Output
- format baru sebagai alternatif pembangunan Indonesia dari sisi ekonomi, pendidikan dan budaya dalam rangka menumbuhkan kemandirian.
- rumusan penting sinergi antar organisasi yang terlibat yang digunakan untuk komunikasi dan sosialisasi sampai tingkatan basis.


Outcome
- hasil-hasil seminar dicetak dan didistribusikan ke tingkatan basis dari dua organisasi NU-Muhammadiyah
- tercipta agen-agen pencerahan dari masing-masing peserta lokakarya untuk membangun sinergi ke tingkatan basis.

Read More..

Senin, 21 April 2008

Bush dan Paradoks Pendidikan


Dalam sepekan terakhir, perhatian masyarakat Indonesia terfokus pada rencana kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush ke Indonesia, 20 November mendatang. Pendapat pro dan kontra pun bermunculan seputar kedatangannya. Berbagai kalangan umat Islam di penjuru Nusantara keras menolak kedatangan Bush dengan menggelar demonstrasi.

Jauh-jauh hari, persiapan pemerintah menyambut kedatangan Bush di Istana Bogor, Jawa Barat, menjadi sorotan publik. Kota Bogor dalam sepekan terakhir terus menjadi perhatian sejumlah intelijen Amerika Serikat (AS). Mereka semakin intensif bersinergi dengan aparat keamanan setempat untuk memastikan bahwa kunjungan Presiden AS George W Bush benar-benar aman dari berbagai gangguan.

Aparat keamanan yang berseliweran di sekitar kawasan Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor telah menjadi pemandangan sehari-hari. Dua titik itulah yang bakal terkena dampak langsung kedatangan Bush. Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Ir H Juanda, Jalan Pajajaran, dan Jalan Harupat yang menurut rencana dilewati Bush, mendapat perhatian khusus.

Bahkan, pada hari H akan diterapkan pengalihan arus lalu lintas selama 12 jam, pukul 10.00-20.00 WIB. Yang menarik, sedikitnya empat sekolah yang berada di dekat dua tempat itu ikut kena imbas berupa peliburan. Dana sekitar enam miliar rupiah dihabiskan pemerintah demi menjamu Bush yang hanya enam jam berada di Indonesia. Berarti, satu jam menghabiskan dana sekitar satu miliar rupiah.

Tidak hanya itu, demi keamanan, aparat telah “mengusir” para pedagang yang biasa berjualan di sekitar Istana Bogor. Belum lagi pembangunan helipad di Kebun Raya Bogor yang kontroversial karena dinilai merusak lingkungan di sekitar Istana Bogor. Untuk menyambut Bush, pemerintah membangun helipad di Kebun Raya Bogor dan satu landasan lagi di Stadion Pajajaran.

Pengamanan berlebihan yang berakibat diliburkannya beberapa sekolah yang berada di Bogor itu patut disayangkan. Aparat keamanan seharusnya tidak perlu meliburkan sekolah, karena itu akan mengganggu sistem belajar mengajar. Kalau memang pemerintah harus melakukan pengamanan untuk menyambut kedatangan Bush, upaya itu tidak harus sampai meliburkan sekolah karena berarti pemerintah telah mengorbankan hak siswa untuk memperoleh pendidikan.

Dengan kebijakan peliburan itu, proses belajar mengajar pasti akan mengalami gangguan. Ini jelas akan menimbulkan kerugian, baik material maupun moral. Peliburan sekolah juga berimplikasi pada adanya image bahwa pemerintah menganggap sekolah dan pendidikan tidak lebih penting dari kedatangan Bush. Di sini, terdapat paradoks antara pendidikan Indonesia dan misi kunjungan Bush yang akan membahas kerja sama pendidikan antara kedua negara, di samping kesehatan.

Dikabarkan pula Bush akan dipertemukan dengan sejumlah tokoh pendidikan Indonesia. Di satu sisi, rencana kerja sama pemerintah di bidang pendidikan boleh jadi membawa angin segar bagi pendidikan Indonesia yang sedang terpuruk. Di sisi lain, peliburan sekolah dengan alasan keamanan itu sudah barang tentu bertentangan dengan misi pendidikan dari Bush itu sendiri.

Pertanyaannya, apakah dengan masuknya pelajar-pelajar yang sekolahnya diliburkan itu kemudian keamanan Bush menjadi terancam? Apakah Bush akan merasa benar-benar aman kalau pengamanan terhadapnya sampai harus meliburkan anak sekolah? Atau dengan kata lain, apakah peliburan itu menjadi jaminan keamanan Bush selama di Indonesia?

Serentetan pertanyaan itu layak dimunculkan karena begitu tidak relevannya, minimal menurut perspektif publik, antara keamanan Bush dan peliburan sekolah. Memang bicara keamanan, segala hal mungkin saja terjadi. Namun itu tidak cukup menjadi pembenaran untuk melakukan segala hal demi keamanan. Kalau mau menuruti situasi maksimal sampai tertutup sama sekali kemungkinan tidak aman, maka itu tidak akan ada selesainya.

Karena prediksi ketidakamanan tersebut selalu saja akan menuntut tindakan berikutnya. Barangkali, logika awam malah menyatakan kalau mau benar-benar aman, Bush tidak usah datang sekalian ke Indonesia. Patut diduga, misi pendidikan itu hanya bungkus luar untuk mengelabui publik di dalam negeri maupun dunia internasional. Besar kemungkinan Bush punya hidden agenda yang tidak diungkap ke publik di luar misi pendidikan dan kesehatan.

Apalagi, kedatangan Bush yang kedua kalinya itu terjadi hanya beberapa hari setelah Partai Republik mengalami kekalahan dari Partai Demokrat dalam pemilu untuk memilih anggota Kongres AS. Ada keterkaitan erat antara kedatangan Bush dan kekalahan Partai yang dipimpinnya itu. Tidak menutup kemungkinan, Bush punya misi menjadikan Indonesia sebagai legitimasi kekuasaannya atas AS dan dunia.

Sebagai pemimpin negara superpower, Bush akan merasa bangga karena masih diterima Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, meski di dalam negeri sendiri popularitasnya sedang menurun drastis akibat standar ganda dan agresi AS ke Irak, serta pembelaannya terhadap Israel yang menyerang Lebanon.

Di samping itu, Bush tentu tidak akan melewatkan kedatangannya ke Indonesia untuk lebih meneguhkan penetrasi dan hegemoni kepentingan ekonomi AS terhadap negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Pertemuan SBY dan Bush bisa jadi ditunggangi kepentingan kapitalisme guna mengamankan aset-aset ekonomi AS di Indonesia. Apalagi, selama ini setiap langkah dan kebijakan luar negeri Bush selalu berbau misi ekonomi, termasuk serangan AS ke Irak yang sebenarnya hanya pengamanan cadangan minyak.

Harus diakui, Bush selama ini pandai membungkus setiap langkah dan kebijakannya. Saat perang Irak lalu, Bush membungkus agresinya itu dengan perang melawan terorisme. Publik dunia akhirnya tahu bahwa Bush hanya ingin menjarah minyak Irak, meski dana yang dikeluarkan untuk perang Irak tidak sedikit, mendekati angka USD300 miliar (termasuk untuk menyerang Afganistan).

Bagi Bush dan Pemerintah AS, penolakan dan protes dari berbagai kelompok umat Islam di Indonesia terkait kedatangannya harus menjadi pelajaran berharga. Standar ganda dan serangan ke Irak semakin merusak citra AS dan Bush sebagai negara superpower dan penegak HAM. Benar apa yang dikatakan KH Hasyim Muzadi, Bush harus introspeksi melihat banyaknya pihak yang menolak kedatangannya di Indonesia.

Tidak hanya di Indonesia, di negara lain ia juga didemo Dari situ, persiapan berlebihan yang sampai meliburkan sekolah tentu sangat berlebihan dan paradoks dengan misi yang dibawanya. Bagi AS, pengamanan yang dilakukan aparat keamanan di Indonesia mungkin belum memenuhi standar, tapi bagi Indonesia, itu sudah sangat berlebihan.

Mengapa dana sekitar enam miliar untuk menyambut Bush tidak digunakan untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang layak bagi pelajar atau peningkatan kesejahteraan guru? Sementara, untuk memenuhi amanat undangundang tentang keharusan anggaran 20% dari APBN/APBD untuk pendidikan, pemerintah belum mampu.

(*)IDY MUZAYYAD
Ketua Umum PP IPNU,
Alumnus Ilmu Komunikasi Pascasarjana UI

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/bush-dan-paradoks-pendidi

Read More..

Geng Remaja dan Kegagalan Pendidikan Kita




Belakangan ini muncul fenomena geng motor di kalangan anak muda, khususnya remaja kita.Meskipun sama sekali bukan hal baru,namun geng motor mencuat ke publik berkenaan dengan isu dan praktek kekerasan yang lekat dengannya. Sebenarnya bila remaja berkumpul dan berkelompok, itu merupakan hal yang lumrah. Masalahnya adalah ketika berkumpulnya mereka itu mengarah pada hal yang destruktif. Sebagaimana lazimnya manusia,kalangan remaja juga membutuhkan komunitas untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. Mereka akan merasa nyaman untuk berkomunikasi dengan sesama, dalam artian usia yang sama lebihlebih dengan kecenderungan dan hobi yang sama pula.Interes yang sepadan akan menguatkan jalinan serta ikatan emosional antar sesame anggota yang berada dalam satu grup.

Geng motor dan geng-geng remaja lain pada awalnya merupakan jawaban nyata dari kebutuhan kaum remaja atas wadah komunikasi antar sesama tadi. Remaja-remaja yang punya back ground sama: memiliki sepeda motor dan suka ber-‘motor ria’.Pada perkembangannya, setelah mereka berkumpul dalam sebuah geng,mereka akan mengisi perkumpulan itu dengan aktivitas.Di sinilah masalah mulai muncul.Pemilihan terhadap aktivitas apa yang akan dijadikan materi kelompok akan menentukan bagaimana warna geng itu ke depan. Tidak semua geng motor mempunyai tujuan baik,atau bahkan jangan-jangan ada geng motor yang memang mempunyai tujuan tidak baik semenjak awalnya.

Lebih parah lagi,bila tujuan yang kurang atau tidak baik itu memang telah ditetapkan dan disepakati bersama anggota geng untuk dilaksanakan. Patut diduga,remaja-remaja memilih geng motor sebagai saluran organisasinya karena organisasi-organisasi remaja yang sudah establish barangkali tidak mampu untuk mewadahi mereka.Atau lebih dari itu,organisasi bersegmen remaja tidak bisa menjangkau dan melayani kebutuhan mereka.Remaja adalah masa di mana mereka membutuhkan wadah untuk berapresiasi dan berekspresi.Sepanjang organisasi remaja tidak mampu memenuhi itu,maka ia akan ditinggalkan. Menurut psikologi perkembangan, kebanyakan anak remaja belum punya pikiran jauh dan panjang.

Mereka lebih suka memikirkan hal-hal yang dekat, terjangkau dan berbau senang-senang atau fun.Hal itu masih wajar bila mereka tidak terjerembab pada pilihan-pilihan yang jelas-jelas negatif.Remaja memang memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan dunia dewasa dan orang tua.Yang diperlukan adalah kontrol dan pengarahan mereka untuk selalu berada pada ‘jalan yang benar’. Pun kebenaran itu tidak harus diperspektifkan sebagai hal yang kaku dan tidak berwarna.Biarlah remaja tetap berada dalam dunia keremajaan dan keceriannya, sepanjang dalam batasan yang tidak kebablasan (musrif).Toh,remaja pada dasarnya juga mempunyai naluri sehatnya sendiri versi mereka,sungguhpun bagi kalangan tua (yang kolot) kadang banyak hal yang dilakukan remaja hari ini tampak asing,aneh dan dianggap melanggar.

Remaja adalah pribadi-pribadi yang gelisah.Posisi organisasi remaja seharusnya mampu menjadi ‘pelarian’ (dalam artian positif) bagi kegelisahan mereka. Para remaja banyak yang merasa kesepian dan membutuhkan pendamping, di luar orang tua dan guru mereka. Apalagi dalam satu kasus ketika orang tua tidak cukup waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anak,dan guru hanya bisa mengajarkan mata pelajaran secara teks book semata. Organisasi remaja semisal Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU),Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM),Pelajar Islam Indonesia (PII),Remaja Masjid, Karang Taruna dan sebagainya harus mampu melakukan reorientasi program dan kegiatan yang mempunyai sense kuat terhadap kebutuhan remaja. Kalau ini terpenuhi,maka remaja-remaja kita akan merasa memiliki teman yang mengasikkan namun sekaligus mampu memberikan guidance.

Kegagalan Pendidikan Maraknya geng motor yang bersifat destruktif dilihat dari sudut pandang lain juga merupakan wujud kekagalan dari pendidikan kita.Betapa para pelajar kita tidak cukup hanya diajari mata pelajaran tertentu,atau hanya didorong hanya untuk lulus ujian.Pelajar dan remaja membutuhkan sesuatu yang lebih dari itu: moral dan etika secara practical.

Karenanya,pendidikan harus kembali benar-benar diarahkan untuk tidak sekedar menggenjot capaian-capaian pada aspek kognitif semata,namun harus diseimbangkan dengan aspek afeksi dan psikomotorik.Nilai bagus memang penting,namun tentu tidak hanya itu.Pengajaran dan pemantauan terhadap budipekerti pelajar juga tidak kalah penting untuk dilakukan secara intensif. Bagaimana dengan Ujian Nasional (UN)? UN dalam satu sisi memang mampu memicu siswa untuk belajar.Namun pertanyannya,apakah itu terjadi karena terpaksa atau memang kerelaan.Analisa sementara,pelajar kita cenderung terpaksa.Karena itu mereka merasa stress dan tertekan.Kondisi stress inilah yang kemudian mengarahkan para pelajar dan remaja untuk mencari pelampiasan dan ruang untuk refreshing. Informasi soal kenaikan nilai UN dari mnimal 5 menjadi 5,25 mau tidak mau akan semakin menambaha rasa stress itu.

Dan semakin mereka stress,tuntutan dari dalam diri untuk mencari tempat pelarian akan semakin besar.Termasuk penambahan mata pelajaran yang diujikan dari hanya tiga pelajaran menjadi enam pelajaran. Pada sebuah kesempatan auidensi dengan Wapres Jusuf Kalla,kepada penulis beliau menyatakan kegembiraannya akan keberhasilan UN memacu siswa untuk belajar dan terpaksa belajar sehingga tidak punya waktu untuk tawuran dan sebagainya.

Makanya beliau sangat mendukung UN tetap dilaksanakan. Bahkan beliau sampai berucap, ‘Kalau ada siswa yang sampai bakar sekolah gara-gara UN,maka saya akan bangun sekolah yang lebih bagus lagi’. Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang seharusnya mampu mencetak generasi yang siap menghadapi tantangan zaman.Kesiapan itu tentu bukan semata pada wilayah capaian nilai formal. Maka sekolah harus mampu melihat dan memperlakukan pelajar sebagai pribadi yang utuh.

Tidak pas kalau sekolah hanya menuntut siswanya untuk belajar dan belajar untuk memenuhi targetan angka-angka.Karena para pelajar harus dikenalkan untuk mempelajari kehidupan yang sesungguhnya. Dus,kondisi terpaksa dan tertekan pelajar tetap berlangsung,maka ini jelas tidak akan menyehatkan.Bagaimana mungkin kondisi tertekan akan melahirkan generasi yang cerdas dan tanggap lingkungan? Kalau hal semacam ini akan tetap dipertahankan,maka kita patut khawatir bila geng motor dengan aura kekerasannya akan semakin marak.Semoga tidak.

(*) IDY MUZAYYAD, M.SI Ketua Umum Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Tulisan ini telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Sabtu, 17/11/2007

Read More..