Senin, 21 April 2008

Bush dan Paradoks Pendidikan


Dalam sepekan terakhir, perhatian masyarakat Indonesia terfokus pada rencana kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush ke Indonesia, 20 November mendatang. Pendapat pro dan kontra pun bermunculan seputar kedatangannya. Berbagai kalangan umat Islam di penjuru Nusantara keras menolak kedatangan Bush dengan menggelar demonstrasi.

Jauh-jauh hari, persiapan pemerintah menyambut kedatangan Bush di Istana Bogor, Jawa Barat, menjadi sorotan publik. Kota Bogor dalam sepekan terakhir terus menjadi perhatian sejumlah intelijen Amerika Serikat (AS). Mereka semakin intensif bersinergi dengan aparat keamanan setempat untuk memastikan bahwa kunjungan Presiden AS George W Bush benar-benar aman dari berbagai gangguan.

Aparat keamanan yang berseliweran di sekitar kawasan Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor telah menjadi pemandangan sehari-hari. Dua titik itulah yang bakal terkena dampak langsung kedatangan Bush. Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Ir H Juanda, Jalan Pajajaran, dan Jalan Harupat yang menurut rencana dilewati Bush, mendapat perhatian khusus.

Bahkan, pada hari H akan diterapkan pengalihan arus lalu lintas selama 12 jam, pukul 10.00-20.00 WIB. Yang menarik, sedikitnya empat sekolah yang berada di dekat dua tempat itu ikut kena imbas berupa peliburan. Dana sekitar enam miliar rupiah dihabiskan pemerintah demi menjamu Bush yang hanya enam jam berada di Indonesia. Berarti, satu jam menghabiskan dana sekitar satu miliar rupiah.

Tidak hanya itu, demi keamanan, aparat telah “mengusir” para pedagang yang biasa berjualan di sekitar Istana Bogor. Belum lagi pembangunan helipad di Kebun Raya Bogor yang kontroversial karena dinilai merusak lingkungan di sekitar Istana Bogor. Untuk menyambut Bush, pemerintah membangun helipad di Kebun Raya Bogor dan satu landasan lagi di Stadion Pajajaran.

Pengamanan berlebihan yang berakibat diliburkannya beberapa sekolah yang berada di Bogor itu patut disayangkan. Aparat keamanan seharusnya tidak perlu meliburkan sekolah, karena itu akan mengganggu sistem belajar mengajar. Kalau memang pemerintah harus melakukan pengamanan untuk menyambut kedatangan Bush, upaya itu tidak harus sampai meliburkan sekolah karena berarti pemerintah telah mengorbankan hak siswa untuk memperoleh pendidikan.

Dengan kebijakan peliburan itu, proses belajar mengajar pasti akan mengalami gangguan. Ini jelas akan menimbulkan kerugian, baik material maupun moral. Peliburan sekolah juga berimplikasi pada adanya image bahwa pemerintah menganggap sekolah dan pendidikan tidak lebih penting dari kedatangan Bush. Di sini, terdapat paradoks antara pendidikan Indonesia dan misi kunjungan Bush yang akan membahas kerja sama pendidikan antara kedua negara, di samping kesehatan.

Dikabarkan pula Bush akan dipertemukan dengan sejumlah tokoh pendidikan Indonesia. Di satu sisi, rencana kerja sama pemerintah di bidang pendidikan boleh jadi membawa angin segar bagi pendidikan Indonesia yang sedang terpuruk. Di sisi lain, peliburan sekolah dengan alasan keamanan itu sudah barang tentu bertentangan dengan misi pendidikan dari Bush itu sendiri.

Pertanyaannya, apakah dengan masuknya pelajar-pelajar yang sekolahnya diliburkan itu kemudian keamanan Bush menjadi terancam? Apakah Bush akan merasa benar-benar aman kalau pengamanan terhadapnya sampai harus meliburkan anak sekolah? Atau dengan kata lain, apakah peliburan itu menjadi jaminan keamanan Bush selama di Indonesia?

Serentetan pertanyaan itu layak dimunculkan karena begitu tidak relevannya, minimal menurut perspektif publik, antara keamanan Bush dan peliburan sekolah. Memang bicara keamanan, segala hal mungkin saja terjadi. Namun itu tidak cukup menjadi pembenaran untuk melakukan segala hal demi keamanan. Kalau mau menuruti situasi maksimal sampai tertutup sama sekali kemungkinan tidak aman, maka itu tidak akan ada selesainya.

Karena prediksi ketidakamanan tersebut selalu saja akan menuntut tindakan berikutnya. Barangkali, logika awam malah menyatakan kalau mau benar-benar aman, Bush tidak usah datang sekalian ke Indonesia. Patut diduga, misi pendidikan itu hanya bungkus luar untuk mengelabui publik di dalam negeri maupun dunia internasional. Besar kemungkinan Bush punya hidden agenda yang tidak diungkap ke publik di luar misi pendidikan dan kesehatan.

Apalagi, kedatangan Bush yang kedua kalinya itu terjadi hanya beberapa hari setelah Partai Republik mengalami kekalahan dari Partai Demokrat dalam pemilu untuk memilih anggota Kongres AS. Ada keterkaitan erat antara kedatangan Bush dan kekalahan Partai yang dipimpinnya itu. Tidak menutup kemungkinan, Bush punya misi menjadikan Indonesia sebagai legitimasi kekuasaannya atas AS dan dunia.

Sebagai pemimpin negara superpower, Bush akan merasa bangga karena masih diterima Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, meski di dalam negeri sendiri popularitasnya sedang menurun drastis akibat standar ganda dan agresi AS ke Irak, serta pembelaannya terhadap Israel yang menyerang Lebanon.

Di samping itu, Bush tentu tidak akan melewatkan kedatangannya ke Indonesia untuk lebih meneguhkan penetrasi dan hegemoni kepentingan ekonomi AS terhadap negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Pertemuan SBY dan Bush bisa jadi ditunggangi kepentingan kapitalisme guna mengamankan aset-aset ekonomi AS di Indonesia. Apalagi, selama ini setiap langkah dan kebijakan luar negeri Bush selalu berbau misi ekonomi, termasuk serangan AS ke Irak yang sebenarnya hanya pengamanan cadangan minyak.

Harus diakui, Bush selama ini pandai membungkus setiap langkah dan kebijakannya. Saat perang Irak lalu, Bush membungkus agresinya itu dengan perang melawan terorisme. Publik dunia akhirnya tahu bahwa Bush hanya ingin menjarah minyak Irak, meski dana yang dikeluarkan untuk perang Irak tidak sedikit, mendekati angka USD300 miliar (termasuk untuk menyerang Afganistan).

Bagi Bush dan Pemerintah AS, penolakan dan protes dari berbagai kelompok umat Islam di Indonesia terkait kedatangannya harus menjadi pelajaran berharga. Standar ganda dan serangan ke Irak semakin merusak citra AS dan Bush sebagai negara superpower dan penegak HAM. Benar apa yang dikatakan KH Hasyim Muzadi, Bush harus introspeksi melihat banyaknya pihak yang menolak kedatangannya di Indonesia.

Tidak hanya di Indonesia, di negara lain ia juga didemo Dari situ, persiapan berlebihan yang sampai meliburkan sekolah tentu sangat berlebihan dan paradoks dengan misi yang dibawanya. Bagi AS, pengamanan yang dilakukan aparat keamanan di Indonesia mungkin belum memenuhi standar, tapi bagi Indonesia, itu sudah sangat berlebihan.

Mengapa dana sekitar enam miliar untuk menyambut Bush tidak digunakan untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang layak bagi pelajar atau peningkatan kesejahteraan guru? Sementara, untuk memenuhi amanat undangundang tentang keharusan anggaran 20% dari APBN/APBD untuk pendidikan, pemerintah belum mampu.

(*)IDY MUZAYYAD
Ketua Umum PP IPNU,
Alumnus Ilmu Komunikasi Pascasarjana UI

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/bush-dan-paradoks-pendidi

Tidak ada komentar: