Rabu, 21 Mei 2008

Jangan Latah Menaikan Harga BBM!

Achmad Deni Daruri
President Director Center for Banking Crisis


Ketika Presiden SBY mengatakan bahwa harga BBM tidak akan naik memperlihatkan akan kepedulian presiden akan nasib rakyat yang nyata. Bukan hanya masalah ekonomi rakyat yang terpengaruhi oleh pernyataan itu tetapi reputasi presiden dan pemerintah secara keseluruhan akan menjadi taruhannya.
Dalam ekonomi kita mengenal teori rational expectation dimana unsur expektasi dari masyarakat memainkan peranan yang penting dari sukses atau gagalnya sebuah kebijakan masyarakat.
Dalam dunia bisnis kita kenal “dictum meum pactum” yang juga menjadi moto London Stock Exchange sejak tahun 1801. Jelas bahwa bukan hanya kebijakan public tetapi juga kebijakan privat juga sangat tergantung kepada trust, sehingga sampai kini kita kenal istilah “my word is my bond”. Bahkan George Bush Senior mengatakan “read my lips”, untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa ia merupakan pemimpin yang dapat dipegang ucapannya terus dikenang banyak pihak termasuk di luar Amerika Serikat.
Seiring dengan itu ilmuwan terkenal Pierre Bourdieu mengatakan bahwa trust sebagai bentuk capital yang intangible bersama bentuk capital (tangible) lainnya seperti capital dalam factor produksi dan capital sebagai budaya merupakan komponen sangat penting dalam membangun sebuah Negara menjadi adidaya. Menurutnya semakin maju suatu Negara maka akumulasi capital yang terjadi bukan hanya capital dalam pengertian factor produksi dalam ilmu ekonomi tetapi juga social capital dan cultural capital yang penting dalam menopang kemajuan suatu bangsa secara berkelanjutan sehingga pertumbuhan total factor productivity menjadi positif dan terus tumbuh kencang.
Krugman juga sudah membuktikan bahwa Negara dengan pertumbuhan total factor productivity yang negative seperti Uni Soviet pada akhirnya gagal menopang pembangunan ekonomi yang sustainable. Bourdieu juga menandai semakin tingginya trust dalam suatu masyarakat karena didukung oleh kapasitas prosessor dari social capital yang semakin canggih diantaranya adalah diterapkannya system demokrasi yang menuntut pemimpin agar menjaga janji-janjinya tersebut dan kebijakan industrial yang terukur.
Bahkan Robert Putnam yang juga pakar dari Universitas Harvard secara nyata menjelaskan saling keterkaitan antara social capital dengan demokrasi itu sendiri. Pengkhianatan terhadap demokrasi (termasuk ucapan pempimpin Negara yang plin plan) pada gilirannya akan merusak social capital yang ada di masyarakat dan sebaliknya yang akan terjadi.
Dalam konteks ilmu ekonomi maka masyarakat akan mengantisipasi segala kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah misalnya jika presiden mengatakan bahwa harga BBM tidak akan naik dan masyarakat mengasumsikan ucapan presiden tidak akan plin plan maka tentunya tidak akan ada upaya untuk menimbun BBM sehingga proses alokasi dan akumulasi sumber daya tidak mengalami dead weight loss.
Masalahnya justru muncul ketika Menteri Keuangan baru-baru ini mengatakan bahwa kenaikan harga BBM menjadi suatu yang mungkin sehingga menimbulkan kesulitan bagi public dalam menciptakan ekspektasi inflasi di masa depan. Sebagai pembantu presiden tentu pernyataan tersebut membawa implikasi yang membingungkan bagi pasar bahkan Asosiasi Pengusaha juga sudah ikut-ikutan latah memberikan pernyataan bahwa idealnya kenaikan BBM adalah 15 persen sehingga ini merupakan indikasi bagi public bahwa produsen akan menaikan harga produksinya minimal 15 persen.
Apa yang dilakukan oleh Menteri Keuangan dan Asosiasi Pengusaha berjalan sinkron, namun keduannya tidak berjalan sinkron dengan ucapan presiden yang menentang kenaikan harga BBM. Lebih dari itu dari sisi kebijakan ekonomi asumsi sticky prices menjadi terbantahkan yang berimplikasi serius bagi efektifitas kebijakan fiscal yang seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah, padahal defisit APBN yang sudah dilakukan itu seharusnya justru dapat diperbesar untuk menetralisir subsidi BBM yang meningkat.
Para kreditur utang luar negeri Indonesia bersama mafia Berkeley telah merancang budaya ekonomi agar deficit itu dipergunakan utamanya untuk membayar hutang luar negeri pemerintah Indonesia (trade off) atau “gali lobang tutup lubang” saja. Proyeksi optimis pada tahun 2008 ini diperkirakan rasio deficit APBN terhadap PDB di Indonesia adalah sebesar minus 1,8 persen dan kalaupun harga minyak mencapai 150 dolar per barel maka rasio itu tidak akan lebih dari 3 persen sebagaimana yang dipersyaratkan oleh undang-undang keuangan Negara.
Kondisi itu dapat dicapai sepanjang Bank Indonesia menurunkan BI rate hingga tingkat suku bunga obligasi pemerintah dengan maturity 10 tahun mencapai 4 persen per tahun. Sesuai yang telah diteliti oleh Bernanke dimana Bernanke, Gertler dan Watson (1997) mengatakan bahwa penyebab utama resesi bukanlah harga minyak tetapi respon endogen dari kebijakan moneter. Penurunan tingkat suku bunga ini pada gilirannya akan mengurangi beban pembayaran bunga pada APBN dan memberikan stimulasi ekonomi yang berpotensi meningkatkan penerimaan pajak.
Kliesen (2008) yang juga ekonom dari Fed membuktikan bahwa kenaikan harga minyak semakin tidak sensitive terhadap perekonomian Amerika Serikat dan efek jangka panjang terhadap inflasi juga sangat kecil. Artinya focus Negara berkembang adalah switching domestic demand untuk jangka pendek. Misalnya, Malaysia diproyeksikan akan mencapai deficit sebesar 3,2 persen pada tahun 2008 ini dan Pakistan akan mencapai 5,2 persen. Sedangkan Thailand dan India masing-masing 3 persen dan 3,1 persen. Itu menunjukkan bahwa teori natural rate of unemployment bukan hanya terjadi dalam jangka panjang tetapi juga jangka pendek dan menengah.
Juga perlu dicamkan bahwa pengangguran di Negara sedang berkembang bersifat structural akibatnya menganggur merupakan barang mewah! Artinya ruang deficit pada perekonomian Indonesia masih terbuka sangat lebar, namun tidak dipergunakan sebagaimana mestinya karena pola pikir Mafia Berkeley dan dokrin IMF serta Bank Dunia masih diterapkan secara dogmatis oleh Kabinet SBY-JK. Harga minyak yang tanggung oleh konsumen di Indonesia hanya sedikit lebih murah dari harga minyak yang ditanggung oleh Malaysia dan Amerika Serikat, artinya dengan biaya bahan bakar yang relative murah seperti ini yang jika dikombinasikan dengan biaya modal yang murah akan menghasilkan daya saing produksi nasional yang semakin tinggi untuk memenangkan persaingan global.
Menaikan harga BBM domestic sama saja dengan menaikan daya saing produk buatan Malaysia dan Amerika Serikat serta Negara lainnya. Selain itu, menaikkan harga BBM domestic juga merupakan disinsentif bagi pemerintah untuk meningkatkan investasi migas di dalam negeri dalam meningkatkan produksi migas di dalam negeri yang justru memperlihatkan tren yang terus terpuruk. Belum lagi kenaikan harga domestic BBM di tengah tingginya harga komoditas dunia akan mengancam stagflasi perekonomian Indonesia yang hingga kini sudah memperlihatkan tanda-tanda penurunan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan permanent income hypothesis (life cycle) dan Teori Modigliani-Miller maka kenaikan harga BBM domestic dipastikan menurunkan ekspektasi konsumsi dan investasi pada perekonomian Indonesia secara simultan akan terjadi di masa depan apalgi jika pemerintah secara latah menaikkan harga BBM. Terakhir sebagaimana yang dikatakan almarhum Begawan Ekonomi Prof Sumitro Djoyohadikusumo dimana APBN Indonesia bocor rata-rata 30 persen maka kalau saja pemerintah mau mengurangi kebocoran ini dipastikan pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM domestic.
Upaya pemerintah untuk memangkas anggaran departemen secara hantam rata bukan hanya berdampak pada penurunan kapasitas public tetapi justru juga akan meningkatkan kebocoran akibat inefisiensi tersebut karena para birokrat sudah mengekspektasikan besaran korupsi sebasar 30 persen dari RAPBN sebelum terjadinya pemotongan. Reformasi yang berhasil seharusnya membuat pemerintah tidak lagi latah dalam menaikan harga BBM di dalam negeri seperti di masa lalu karena reformasi juga harus merubah budaya kebijakan ekonomi yang tidak lagi latah menaikan harga BBM.
Menaikkan harga BBM domestic secara latah bukan hanya membuat rakyat Indonesia tambah susah tetapi juga merusak social capital yang telah tercipta selama ini melalui proses reformasi yang sangat mahal itu. Konsekuensi lainnya yang sangat serius adalah kebijakan fiscal akan menjadi semakin tidak efektif sebagaimana yang ditakutkan oleh Robert Lucas peraih hadiah Nobel Ekonomi. Ada baiknya pemerintah belajar dari Bourdieu, untuk jangan sekali-kali menganggap enteng social capital dengan melanggar janjinya sendiri!

Read More..

HINDARI KENAIKAN BBM

Achmad Deni Daruri
President Director Center for Banking Crisis

Peraih nobel ekonomi Jan Tinbergen mengatakan bahwa perbedaan rasio pendapatan antara penduduk yang termiskin dengan yang paling kaya tidak boleh melebihi 1:5, karena dapat membuat perekonomian menjadi tidak efisien dan produktif. Artinya, kebijakan ekonomi pemerintah haruslah berorientasi kepada penurunan perbedaan antara yang kaya dan miskin.
Dengan demikian kebijakan ekonomi haruslah dipikirkan secara serius dan bukan mencari gampangnya saja. Menaikan harga BBM merupakan keputusan yang paling mudah yang dapat dilakukan oleh pemerintah semudah membalik tangan. Yang paling sulit adalah mencari solusi agar harga BBM tidak naik sehingga rakyat tidak semakin menderita. Seharusnya tugas pemerintah adalah melindungi rakyatnya dari kesulitan ekonomi sehingga pejabat pemerintah haruslah berani dan mampu berpikir ekstra keras untuk menghindari kenaikan harga minyak.
Banyak prediksi memperlihatkan (misalnya IMF, Bank Dunia dan PBB) bahwa harga minyak akan terus meningkat hingga beberapa tahun ke depan sehingga harga-harga komoditas juga ikut meningkat. Rata-rata keseimbangan harga minyak internasional diperkirakan akan bertengger pada kisaran 180 dolar per barel. Kenaikan harga-harga tersebut berada di luar control Negara manapun di dunia, apalagi Negara seperti Indonesia yang termasuk dalam small open economy.
Konsekuensinya kebijakan yang efektif untuk memompa perekonomian domestic adalah gabungan antara kebijakan moneter dan fiscal. Kebijakan moneter harus konsisten dalam menurunkan pertumbuhan tingkat suku bunga dan kebijakan fiscal harus bersifat ekspansif. Kombinasi dari kedua kebijakan ini akan mampu mempertahankan subsidi BBM karena rasio deficit APBN terhadap PDB (produk Domestik Bruto) tidak akan lebih dari 3 persen sekalipun rata-rata harga minyak bertengger pada 180 dolar per barel.
Capital outflow juga tidak akan terjadi karena turunnya suku bunga karena justru akan menyebabkan harga asset (termasuk saham) akan meningkat karena ekspektasi keuntungan perusahaan yang meningkat. Konkretnya, kenaikan harga BBM sangat bertentangan dengan program ekspansi fiscal termasuk dengan diberlakukannya program alokasi social dengan dana kompensasi dari subsidi yang berasal dari subsidi BBM.
Alokasi dana subsidi dari BBM ke program jaminan social (baik tunai maupun tunai) terhadap kelompok miskin dipastikan tidak akan membuat kelompok miskin menjadi lebih baik. Alasan utamanya adalah kelompok miskin akan terpukul lebih besar daya belinya karena kenaikan harga BBM ketimbang kelompok kaya karena kelompok miskin memiliki elastisitas sangat tinggi relative terhadap kelompok kaya.
Berdasarkan permanent income theory maka penurunan daya beli ini akan menurunkan tingkat konsumsi. Padahal kelompok miskin sudah mengkonsumsi secara minimal di bawah batas kehidupan normal yang sehat sehingga kualitas kehidupannya bukan hanya menurun tetapi juga kesehatannya juga memburuk. Sampai saat ini pemerintah belum pernah mengeluarkan perhitungan Elastisitas Frisch dari setiap wilayah di Indonesia.
Semakin elastis Frisch elasticity-nya maka akan semakin tereksploitasi para buruh dari kelompok miskin ketika harga BBM dinaikan. Jelas kenaikan harga BBM justru memperbesar jurang kekayaan antara penduduk termiskin dengan yang terkaya sehingga menurut Tinbergen kebijakan seperti ini harus dihindari. Program pemerintah sebagai kompensasi kenaikan BBM bagi masyarakat miskin juga tidak memiliki focus dan memiliki prioritas yang tidak jelas, misalnya ada program tunai dan non tunai. Sedangkan program non tunai dapat berupa biaya kesehatan, biaya sekolah dan sebagainya.
Pertanyaannya sampai saat ini pemerintah belum melakukan penelitian sampai sejauh mana kenaikan harga BBM meningkatkan willingness to pay bagi kesehatan, makanan, pendidikan, perumahan, transportasi atau dimensi lainnya dari penduduk msikin dan yang akan miskin akibat kenaikan herga BBM. Belum lagi tingkat kebutuhan masyarakat miskin setiap daerah tentu memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Masyarakat miskin di Jakarta tentu berbeda dengan masyarakat miskin di Papua atau NTT.
Pemerintah terlihat terlalu menganggap remeh hal ini sehingga cenderung menyamaratakan semua masyarakat miskin di semua wilayah. Profil piramida kependudukan suatu wilayah miskin juga akan menentukan seberapa elastis terjadinya penurunan daya beli akibat persentase tertentu dari kenaikan harga BBM. Daerah dengan dependent rasio yang tinggi (penduduk non produktif yang besar) tentu berbeda dengan daerah yang dependent rasio yang lebih rendah walaupun sama-sama miskin. Belum lagi data jumlah penduduk miskin sendiri masih dalam perdebatan, misalnya data kemiskinan BPS ternyata jauh lebih rendah dari data kemiskinan Bank Dunia.
Berdasarkan data dan metodologi perhitungan kemiskinan yang digunakan tampak jelas bahwa Bank Dunia lebih baik ketimbang BPS. Konsekuensinya, penduduk miskin sesungguhnya jauh lebih besar dari yang diprediksikan oleh pemerintah. Secara politis, pemerintah tentu akan berupaya menggunakan data kemiskinan BPS karena hanya memerlukan dana kompensasi yang lebih murah.
Sampai saat ini program kompensasi kenaikan harga BBM selalu menggunakan data BPS maka dapat dibayangkan besarnya penduduk miskin yang tidak memperoleh kompensasi tersebut selama ini dan yang akan datang. Kenaikan harga BBM menyebabkan permanent income loss, sedangkan program kompensasinya paling maksimal hanya berlaku satu tahun. Belum lagi jika kita bicara tentang efektifitas birokrasi di Indonesia yang menurut World Economic Forum sangat buruk. Dalam kondisi yang seperti itu maka program kompensasi kenaikan harga BBM bagi masyarakat miskin di Indonesia sebetulnya merupakan wishfull thinking.
Belum lagi, Program Nasional Pendampingan Mandiri (PNPM) yang besarnya mencapai 30 persen dari setiap departemen dengan pimpinan Menko Kesra melibatkan verifikasi dari Bank Dunia dan pendampingnya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang merupakan afiliasi pemerintah. Sementara konsultan verifikasinya Bank Dunia adalah kakak dari Menteri Keuangan Sri Mulyani dari Lembaga UKM FEUI.
Dimana kedaulatan pemerintah Indonesia karena dana APBN justru diverifikasi oleh Bank Dunia? Mengapa Bank Dunia yang konsep kemiskinannya ditolak ternyata diminta melakukan verifikasi? Perlu diingat bahwa Bank Dunia tidak memiliki kantor cabang hingga level propinsi apalagi kecamatan di seluruh Indonesia. Jika Bank Dunia nantinya akan membangunan kantor cabang hingga propinsi agar program verifikasi dapat termonitor dengan baik, maka berapa besar biaya yang diperlukan. Sudah pasti ujung-ujungnya biaya tersebut juga harus disediakan oleh APBN.
Padahal sebagai Negara berdaulat yang melindungi rakyatnya, pemerintah Indonesia seharusnya menggunakan konsep kemiskinan Bank Dunia dimana rakyat miskin yang terhitung lebih besar dari konsep BPS, dan menolak verifikasi oleh Bank Dunia karena membuat bangsa Indonesia tidak dapat berdiri di atas kaki sendiri. Bank Dunia bukanlah lembaga malaikat karena Bank Dunia memiliki kepentingan yang berbeda dengan kepentingan Bangsa Indonesia. Bank Dunia sangat dipengaruhi oleh misi ekonomi dan politik dari Negara-negara maju yang berkepentingan untuk mensejahterakan rakyatnya sendiri.
Karena itu bukannya tidak mungkin bahwa staf Bank Dunia merupakan agen intelejen asing. Kondisi masyarakat miskin di Indonesia mirip dengan yang diceritakan oleh Gunnar Myrdal (1944) dalam An American Dilemma: Negro Problem and Modern Democracy dimana reformasi di Indonesia yang katanya membuat Indonesia semakin demokratis justru semakin menghasilkan kebijakan ekonomi yang memberatkan penduduk miskin yang tersebar dari Sabang hingga Marauke. Untuk itu, hentikan kenaikan harga BBM supaya kesenjangan pendapatan di masyarakat tidak semakin besar yang menurut Tinbergen justru menyebabkan kontraproduktif!

Read More..

Selasa, 22 April 2008

Semiloka Nasional Kaum Muda NU-Muhammadiyah

”Sinergi Potensi Bangsa Untuk Indonesia Sejahtera”
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM)
Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)


Latar Belakang Pemikiran

Sepuluh tahun reformasi bergulir, Indonesia belum juga mampu menyelesaikan problem klasiknya: kemiskinan, kebodohan, pengangguran, serta masalah-maslah sosial lainnya, baik yang sedang dihadapi maupun yang akan dihadapi oleh warga bangsa yang kita cintai ini.
Namun kita juga harus jujur mengatakan bahwa sudah banyak juga di beberapa hal yang sudah mengalami kemajuan, tapi ada juga sebagian yang lain masih mengalami jalan di tempat bahkan ada juga sektor yang mengalami kemunduran. Fluktuasi perjalanan bangsa saat ini belum seluruhnya mengarah pada Indonesia yang dicita-cita kan oleh the Founding Fathers Bangsa ini menuju bangsa yang sejahtera, aman dan damai, atau dalam bahasa Islam dikenal dengan baldhatun thayyibatun warabbun ghafur.

Memang sungguh tidak gampang dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membawa bangsa Indonesia menuju bangsa yang sejahtera sebagaimana yang telah diamanhkan oleh Undang-undang Dasar 45. Namun paling tidak, ada tahapan-tahapan yang jelas, terukur dan terarah untuk menggapainya. Dengan demikian hendaknya segenap potensi bangsa perlu disinergikan dan bersinerji agar tercipta ’kebersamaan menuju kebahagiaan’. Energi segenap elemen bangsa tidak seyogyanya dihabiskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, atau malah terbuang tampa manfaat.
Sayangnya, realitas kehidupan berbangsa dan bernegara lebih sering terfragmentasi dalam kepentingan yang bersifat faksional. Kebersamaan masih dalam batasan slogan dan lip service, karena senyataannya masih banyak diantara generasi muda bangsa yang masih terkotak-kotakan, banyak juga diantara mereka-mereka yang berbeda pendapat bahkan berujung polemik yang berimplikasi pada konflik dan kekerasan.
Semestinya potensi bangsa yang banyak dan beragam ini merupakan sebuah kekuatan dan aset yang mahadasyat bila dapat termanfaatkan dengan baik dalam koridornya yang benar. Pandangan dan sikap saling melengkapi serta menguatkan, berbasis pada sumbangsih yang dapat diberikan trsebut merupakan ’energi baru’ bagi bangsa dalam mencapai cita-cita kesejahteraan dan kmakmurannya.
Karenanya, diperlukan langkah untuk terus mengkampanyekan kebersamaan dalam gerak dan langkah antar elemen bangsa yang beragam itu. Slogan ’bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’ masih layak tetap dijadikan pegangan. Apalagi mengingat tantangan globalisasi yang semakin manives dan berat sekarang ini membutuhkan respon secara lebih matang disertai kebersamaan yang semakin dieratkan.
Dengan demikian Kaum Muda NU dan Muhammadiyah berupaya mengambil peran dalam kapasitasnya sosial kontrol serta sebagai kawah candradimuka dan tempat penggemblengan dan penggodokan kader persyarikatan, umat dan bangsa bagi dua oraganisasi Islam terbesar negeri ini. Di samping itu karena dilatari pandangan bahwa anak mudalah yang harus memulai perubahan sekaligus melakukan pengawalan, melalui pencarian solusi yang sistemik bagi problematika kebangsaan hari ini menuju Indonesia sejahtera dimasa yang akan datang.

Kegiatan

Kegiatan ini dinamakan ”Seminar dan Lokakarya Nasional Kaum Muda NU-Muhammadiyah”. Kegiatan ini merupakan kerjasama empat organisasi otonom di bawah NU dan Muhammadiyah terdiri dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) dan Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (IPPNU) yang selama ini membuat poros komunikasi strategis untuk kemajuan bangsa.

Tujuan.

Menjalin kebersamaan yang erat antara kaum muda NU-Muhammadiyah
Memadukan potensi dan sinergi gerakan.
Mendialogkan problematika mutakhir kebangsaan.
Mendapatkan rumusan strategis untuk pembangunan kesejahteraan dan kemaslahatan bangsa kedepan.

Tema.
Semiloka mengambil tema ”Sinergi Potensi Bangsa Untuk Indonesia Sejahtera”. Kegiatan ini terbagi kedalam beberapa sesi sebagai berikut:
Sesi 1: Menggagas Ekonomi Indonesia Sejahtera, Dari Retorika Menuju Realita
Sesi 2: Strategi Pendidikan Indonesia yang Berkualitas Tanpa Komersialitas
Sesi 3: Menguatkan Jatidiri Generasi Muda Indonesia di Tengah Arus Globalisasi
Waktu dan Tempat.
Kegiatan ini akan berlangsung selama 3 hari, seminar bertempat di Hotel THE ACACIA JL. Kramat Raya Jakarta pada hari Jumat – Minggu tanggal 17-19 Mei 2008, dilanjutkan lokakarya perumusan sinergi di Villa Ciloto- Puncak Jawa Barat.

Sasaran
Peserta seminar terdiri :
kepengurusan masing-masing organisasi IMM, IPNU, IRM, IPPNU setingkat wilayah seluruh Jawa.
kepengurusan setingkat cabang se-Jabodetabek IMM, IPNU, IRM, IPPNU.
Undangan pihak luar OKP, ORMAS pusat.
elemen pelajar, pemuda dan mahasiswa se-jabodetabek
Peserta Workshop terdiri:
pengurus setingkat wilayah propinsi se-Jawa dari empat organisasi berjumlah 48 orang, masing-masing wilayah mengirimkan 2 orang.


Output
- format baru sebagai alternatif pembangunan Indonesia dari sisi ekonomi, pendidikan dan budaya dalam rangka menumbuhkan kemandirian.
- rumusan penting sinergi antar organisasi yang terlibat yang digunakan untuk komunikasi dan sosialisasi sampai tingkatan basis.


Outcome
- hasil-hasil seminar dicetak dan didistribusikan ke tingkatan basis dari dua organisasi NU-Muhammadiyah
- tercipta agen-agen pencerahan dari masing-masing peserta lokakarya untuk membangun sinergi ke tingkatan basis.

Read More..

Senin, 21 April 2008

Bush dan Paradoks Pendidikan


Dalam sepekan terakhir, perhatian masyarakat Indonesia terfokus pada rencana kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush ke Indonesia, 20 November mendatang. Pendapat pro dan kontra pun bermunculan seputar kedatangannya. Berbagai kalangan umat Islam di penjuru Nusantara keras menolak kedatangan Bush dengan menggelar demonstrasi.

Jauh-jauh hari, persiapan pemerintah menyambut kedatangan Bush di Istana Bogor, Jawa Barat, menjadi sorotan publik. Kota Bogor dalam sepekan terakhir terus menjadi perhatian sejumlah intelijen Amerika Serikat (AS). Mereka semakin intensif bersinergi dengan aparat keamanan setempat untuk memastikan bahwa kunjungan Presiden AS George W Bush benar-benar aman dari berbagai gangguan.

Aparat keamanan yang berseliweran di sekitar kawasan Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor telah menjadi pemandangan sehari-hari. Dua titik itulah yang bakal terkena dampak langsung kedatangan Bush. Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Ir H Juanda, Jalan Pajajaran, dan Jalan Harupat yang menurut rencana dilewati Bush, mendapat perhatian khusus.

Bahkan, pada hari H akan diterapkan pengalihan arus lalu lintas selama 12 jam, pukul 10.00-20.00 WIB. Yang menarik, sedikitnya empat sekolah yang berada di dekat dua tempat itu ikut kena imbas berupa peliburan. Dana sekitar enam miliar rupiah dihabiskan pemerintah demi menjamu Bush yang hanya enam jam berada di Indonesia. Berarti, satu jam menghabiskan dana sekitar satu miliar rupiah.

Tidak hanya itu, demi keamanan, aparat telah “mengusir” para pedagang yang biasa berjualan di sekitar Istana Bogor. Belum lagi pembangunan helipad di Kebun Raya Bogor yang kontroversial karena dinilai merusak lingkungan di sekitar Istana Bogor. Untuk menyambut Bush, pemerintah membangun helipad di Kebun Raya Bogor dan satu landasan lagi di Stadion Pajajaran.

Pengamanan berlebihan yang berakibat diliburkannya beberapa sekolah yang berada di Bogor itu patut disayangkan. Aparat keamanan seharusnya tidak perlu meliburkan sekolah, karena itu akan mengganggu sistem belajar mengajar. Kalau memang pemerintah harus melakukan pengamanan untuk menyambut kedatangan Bush, upaya itu tidak harus sampai meliburkan sekolah karena berarti pemerintah telah mengorbankan hak siswa untuk memperoleh pendidikan.

Dengan kebijakan peliburan itu, proses belajar mengajar pasti akan mengalami gangguan. Ini jelas akan menimbulkan kerugian, baik material maupun moral. Peliburan sekolah juga berimplikasi pada adanya image bahwa pemerintah menganggap sekolah dan pendidikan tidak lebih penting dari kedatangan Bush. Di sini, terdapat paradoks antara pendidikan Indonesia dan misi kunjungan Bush yang akan membahas kerja sama pendidikan antara kedua negara, di samping kesehatan.

Dikabarkan pula Bush akan dipertemukan dengan sejumlah tokoh pendidikan Indonesia. Di satu sisi, rencana kerja sama pemerintah di bidang pendidikan boleh jadi membawa angin segar bagi pendidikan Indonesia yang sedang terpuruk. Di sisi lain, peliburan sekolah dengan alasan keamanan itu sudah barang tentu bertentangan dengan misi pendidikan dari Bush itu sendiri.

Pertanyaannya, apakah dengan masuknya pelajar-pelajar yang sekolahnya diliburkan itu kemudian keamanan Bush menjadi terancam? Apakah Bush akan merasa benar-benar aman kalau pengamanan terhadapnya sampai harus meliburkan anak sekolah? Atau dengan kata lain, apakah peliburan itu menjadi jaminan keamanan Bush selama di Indonesia?

Serentetan pertanyaan itu layak dimunculkan karena begitu tidak relevannya, minimal menurut perspektif publik, antara keamanan Bush dan peliburan sekolah. Memang bicara keamanan, segala hal mungkin saja terjadi. Namun itu tidak cukup menjadi pembenaran untuk melakukan segala hal demi keamanan. Kalau mau menuruti situasi maksimal sampai tertutup sama sekali kemungkinan tidak aman, maka itu tidak akan ada selesainya.

Karena prediksi ketidakamanan tersebut selalu saja akan menuntut tindakan berikutnya. Barangkali, logika awam malah menyatakan kalau mau benar-benar aman, Bush tidak usah datang sekalian ke Indonesia. Patut diduga, misi pendidikan itu hanya bungkus luar untuk mengelabui publik di dalam negeri maupun dunia internasional. Besar kemungkinan Bush punya hidden agenda yang tidak diungkap ke publik di luar misi pendidikan dan kesehatan.

Apalagi, kedatangan Bush yang kedua kalinya itu terjadi hanya beberapa hari setelah Partai Republik mengalami kekalahan dari Partai Demokrat dalam pemilu untuk memilih anggota Kongres AS. Ada keterkaitan erat antara kedatangan Bush dan kekalahan Partai yang dipimpinnya itu. Tidak menutup kemungkinan, Bush punya misi menjadikan Indonesia sebagai legitimasi kekuasaannya atas AS dan dunia.

Sebagai pemimpin negara superpower, Bush akan merasa bangga karena masih diterima Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, meski di dalam negeri sendiri popularitasnya sedang menurun drastis akibat standar ganda dan agresi AS ke Irak, serta pembelaannya terhadap Israel yang menyerang Lebanon.

Di samping itu, Bush tentu tidak akan melewatkan kedatangannya ke Indonesia untuk lebih meneguhkan penetrasi dan hegemoni kepentingan ekonomi AS terhadap negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Pertemuan SBY dan Bush bisa jadi ditunggangi kepentingan kapitalisme guna mengamankan aset-aset ekonomi AS di Indonesia. Apalagi, selama ini setiap langkah dan kebijakan luar negeri Bush selalu berbau misi ekonomi, termasuk serangan AS ke Irak yang sebenarnya hanya pengamanan cadangan minyak.

Harus diakui, Bush selama ini pandai membungkus setiap langkah dan kebijakannya. Saat perang Irak lalu, Bush membungkus agresinya itu dengan perang melawan terorisme. Publik dunia akhirnya tahu bahwa Bush hanya ingin menjarah minyak Irak, meski dana yang dikeluarkan untuk perang Irak tidak sedikit, mendekati angka USD300 miliar (termasuk untuk menyerang Afganistan).

Bagi Bush dan Pemerintah AS, penolakan dan protes dari berbagai kelompok umat Islam di Indonesia terkait kedatangannya harus menjadi pelajaran berharga. Standar ganda dan serangan ke Irak semakin merusak citra AS dan Bush sebagai negara superpower dan penegak HAM. Benar apa yang dikatakan KH Hasyim Muzadi, Bush harus introspeksi melihat banyaknya pihak yang menolak kedatangannya di Indonesia.

Tidak hanya di Indonesia, di negara lain ia juga didemo Dari situ, persiapan berlebihan yang sampai meliburkan sekolah tentu sangat berlebihan dan paradoks dengan misi yang dibawanya. Bagi AS, pengamanan yang dilakukan aparat keamanan di Indonesia mungkin belum memenuhi standar, tapi bagi Indonesia, itu sudah sangat berlebihan.

Mengapa dana sekitar enam miliar untuk menyambut Bush tidak digunakan untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang layak bagi pelajar atau peningkatan kesejahteraan guru? Sementara, untuk memenuhi amanat undangundang tentang keharusan anggaran 20% dari APBN/APBD untuk pendidikan, pemerintah belum mampu.

(*)IDY MUZAYYAD
Ketua Umum PP IPNU,
Alumnus Ilmu Komunikasi Pascasarjana UI

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/bush-dan-paradoks-pendidi

Read More..

Geng Remaja dan Kegagalan Pendidikan Kita




Belakangan ini muncul fenomena geng motor di kalangan anak muda, khususnya remaja kita.Meskipun sama sekali bukan hal baru,namun geng motor mencuat ke publik berkenaan dengan isu dan praktek kekerasan yang lekat dengannya. Sebenarnya bila remaja berkumpul dan berkelompok, itu merupakan hal yang lumrah. Masalahnya adalah ketika berkumpulnya mereka itu mengarah pada hal yang destruktif. Sebagaimana lazimnya manusia,kalangan remaja juga membutuhkan komunitas untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. Mereka akan merasa nyaman untuk berkomunikasi dengan sesama, dalam artian usia yang sama lebihlebih dengan kecenderungan dan hobi yang sama pula.Interes yang sepadan akan menguatkan jalinan serta ikatan emosional antar sesame anggota yang berada dalam satu grup.

Geng motor dan geng-geng remaja lain pada awalnya merupakan jawaban nyata dari kebutuhan kaum remaja atas wadah komunikasi antar sesama tadi. Remaja-remaja yang punya back ground sama: memiliki sepeda motor dan suka ber-‘motor ria’.Pada perkembangannya, setelah mereka berkumpul dalam sebuah geng,mereka akan mengisi perkumpulan itu dengan aktivitas.Di sinilah masalah mulai muncul.Pemilihan terhadap aktivitas apa yang akan dijadikan materi kelompok akan menentukan bagaimana warna geng itu ke depan. Tidak semua geng motor mempunyai tujuan baik,atau bahkan jangan-jangan ada geng motor yang memang mempunyai tujuan tidak baik semenjak awalnya.

Lebih parah lagi,bila tujuan yang kurang atau tidak baik itu memang telah ditetapkan dan disepakati bersama anggota geng untuk dilaksanakan. Patut diduga,remaja-remaja memilih geng motor sebagai saluran organisasinya karena organisasi-organisasi remaja yang sudah establish barangkali tidak mampu untuk mewadahi mereka.Atau lebih dari itu,organisasi bersegmen remaja tidak bisa menjangkau dan melayani kebutuhan mereka.Remaja adalah masa di mana mereka membutuhkan wadah untuk berapresiasi dan berekspresi.Sepanjang organisasi remaja tidak mampu memenuhi itu,maka ia akan ditinggalkan. Menurut psikologi perkembangan, kebanyakan anak remaja belum punya pikiran jauh dan panjang.

Mereka lebih suka memikirkan hal-hal yang dekat, terjangkau dan berbau senang-senang atau fun.Hal itu masih wajar bila mereka tidak terjerembab pada pilihan-pilihan yang jelas-jelas negatif.Remaja memang memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan dunia dewasa dan orang tua.Yang diperlukan adalah kontrol dan pengarahan mereka untuk selalu berada pada ‘jalan yang benar’. Pun kebenaran itu tidak harus diperspektifkan sebagai hal yang kaku dan tidak berwarna.Biarlah remaja tetap berada dalam dunia keremajaan dan keceriannya, sepanjang dalam batasan yang tidak kebablasan (musrif).Toh,remaja pada dasarnya juga mempunyai naluri sehatnya sendiri versi mereka,sungguhpun bagi kalangan tua (yang kolot) kadang banyak hal yang dilakukan remaja hari ini tampak asing,aneh dan dianggap melanggar.

Remaja adalah pribadi-pribadi yang gelisah.Posisi organisasi remaja seharusnya mampu menjadi ‘pelarian’ (dalam artian positif) bagi kegelisahan mereka. Para remaja banyak yang merasa kesepian dan membutuhkan pendamping, di luar orang tua dan guru mereka. Apalagi dalam satu kasus ketika orang tua tidak cukup waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anak,dan guru hanya bisa mengajarkan mata pelajaran secara teks book semata. Organisasi remaja semisal Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU),Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM),Pelajar Islam Indonesia (PII),Remaja Masjid, Karang Taruna dan sebagainya harus mampu melakukan reorientasi program dan kegiatan yang mempunyai sense kuat terhadap kebutuhan remaja. Kalau ini terpenuhi,maka remaja-remaja kita akan merasa memiliki teman yang mengasikkan namun sekaligus mampu memberikan guidance.

Kegagalan Pendidikan Maraknya geng motor yang bersifat destruktif dilihat dari sudut pandang lain juga merupakan wujud kekagalan dari pendidikan kita.Betapa para pelajar kita tidak cukup hanya diajari mata pelajaran tertentu,atau hanya didorong hanya untuk lulus ujian.Pelajar dan remaja membutuhkan sesuatu yang lebih dari itu: moral dan etika secara practical.

Karenanya,pendidikan harus kembali benar-benar diarahkan untuk tidak sekedar menggenjot capaian-capaian pada aspek kognitif semata,namun harus diseimbangkan dengan aspek afeksi dan psikomotorik.Nilai bagus memang penting,namun tentu tidak hanya itu.Pengajaran dan pemantauan terhadap budipekerti pelajar juga tidak kalah penting untuk dilakukan secara intensif. Bagaimana dengan Ujian Nasional (UN)? UN dalam satu sisi memang mampu memicu siswa untuk belajar.Namun pertanyannya,apakah itu terjadi karena terpaksa atau memang kerelaan.Analisa sementara,pelajar kita cenderung terpaksa.Karena itu mereka merasa stress dan tertekan.Kondisi stress inilah yang kemudian mengarahkan para pelajar dan remaja untuk mencari pelampiasan dan ruang untuk refreshing. Informasi soal kenaikan nilai UN dari mnimal 5 menjadi 5,25 mau tidak mau akan semakin menambaha rasa stress itu.

Dan semakin mereka stress,tuntutan dari dalam diri untuk mencari tempat pelarian akan semakin besar.Termasuk penambahan mata pelajaran yang diujikan dari hanya tiga pelajaran menjadi enam pelajaran. Pada sebuah kesempatan auidensi dengan Wapres Jusuf Kalla,kepada penulis beliau menyatakan kegembiraannya akan keberhasilan UN memacu siswa untuk belajar dan terpaksa belajar sehingga tidak punya waktu untuk tawuran dan sebagainya.

Makanya beliau sangat mendukung UN tetap dilaksanakan. Bahkan beliau sampai berucap, ‘Kalau ada siswa yang sampai bakar sekolah gara-gara UN,maka saya akan bangun sekolah yang lebih bagus lagi’. Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang seharusnya mampu mencetak generasi yang siap menghadapi tantangan zaman.Kesiapan itu tentu bukan semata pada wilayah capaian nilai formal. Maka sekolah harus mampu melihat dan memperlakukan pelajar sebagai pribadi yang utuh.

Tidak pas kalau sekolah hanya menuntut siswanya untuk belajar dan belajar untuk memenuhi targetan angka-angka.Karena para pelajar harus dikenalkan untuk mempelajari kehidupan yang sesungguhnya. Dus,kondisi terpaksa dan tertekan pelajar tetap berlangsung,maka ini jelas tidak akan menyehatkan.Bagaimana mungkin kondisi tertekan akan melahirkan generasi yang cerdas dan tanggap lingkungan? Kalau hal semacam ini akan tetap dipertahankan,maka kita patut khawatir bila geng motor dengan aura kekerasannya akan semakin marak.Semoga tidak.

(*) IDY MUZAYYAD, M.SI Ketua Umum Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Tulisan ini telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Sabtu, 17/11/2007

Read More..

Sabtu, 26 Januari 2008

Read More..