Rabu, 21 Mei 2008

Jangan Latah Menaikan Harga BBM!

Achmad Deni Daruri
President Director Center for Banking Crisis


Ketika Presiden SBY mengatakan bahwa harga BBM tidak akan naik memperlihatkan akan kepedulian presiden akan nasib rakyat yang nyata. Bukan hanya masalah ekonomi rakyat yang terpengaruhi oleh pernyataan itu tetapi reputasi presiden dan pemerintah secara keseluruhan akan menjadi taruhannya.
Dalam ekonomi kita mengenal teori rational expectation dimana unsur expektasi dari masyarakat memainkan peranan yang penting dari sukses atau gagalnya sebuah kebijakan masyarakat.
Dalam dunia bisnis kita kenal “dictum meum pactum” yang juga menjadi moto London Stock Exchange sejak tahun 1801. Jelas bahwa bukan hanya kebijakan public tetapi juga kebijakan privat juga sangat tergantung kepada trust, sehingga sampai kini kita kenal istilah “my word is my bond”. Bahkan George Bush Senior mengatakan “read my lips”, untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa ia merupakan pemimpin yang dapat dipegang ucapannya terus dikenang banyak pihak termasuk di luar Amerika Serikat.
Seiring dengan itu ilmuwan terkenal Pierre Bourdieu mengatakan bahwa trust sebagai bentuk capital yang intangible bersama bentuk capital (tangible) lainnya seperti capital dalam factor produksi dan capital sebagai budaya merupakan komponen sangat penting dalam membangun sebuah Negara menjadi adidaya. Menurutnya semakin maju suatu Negara maka akumulasi capital yang terjadi bukan hanya capital dalam pengertian factor produksi dalam ilmu ekonomi tetapi juga social capital dan cultural capital yang penting dalam menopang kemajuan suatu bangsa secara berkelanjutan sehingga pertumbuhan total factor productivity menjadi positif dan terus tumbuh kencang.
Krugman juga sudah membuktikan bahwa Negara dengan pertumbuhan total factor productivity yang negative seperti Uni Soviet pada akhirnya gagal menopang pembangunan ekonomi yang sustainable. Bourdieu juga menandai semakin tingginya trust dalam suatu masyarakat karena didukung oleh kapasitas prosessor dari social capital yang semakin canggih diantaranya adalah diterapkannya system demokrasi yang menuntut pemimpin agar menjaga janji-janjinya tersebut dan kebijakan industrial yang terukur.
Bahkan Robert Putnam yang juga pakar dari Universitas Harvard secara nyata menjelaskan saling keterkaitan antara social capital dengan demokrasi itu sendiri. Pengkhianatan terhadap demokrasi (termasuk ucapan pempimpin Negara yang plin plan) pada gilirannya akan merusak social capital yang ada di masyarakat dan sebaliknya yang akan terjadi.
Dalam konteks ilmu ekonomi maka masyarakat akan mengantisipasi segala kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah misalnya jika presiden mengatakan bahwa harga BBM tidak akan naik dan masyarakat mengasumsikan ucapan presiden tidak akan plin plan maka tentunya tidak akan ada upaya untuk menimbun BBM sehingga proses alokasi dan akumulasi sumber daya tidak mengalami dead weight loss.
Masalahnya justru muncul ketika Menteri Keuangan baru-baru ini mengatakan bahwa kenaikan harga BBM menjadi suatu yang mungkin sehingga menimbulkan kesulitan bagi public dalam menciptakan ekspektasi inflasi di masa depan. Sebagai pembantu presiden tentu pernyataan tersebut membawa implikasi yang membingungkan bagi pasar bahkan Asosiasi Pengusaha juga sudah ikut-ikutan latah memberikan pernyataan bahwa idealnya kenaikan BBM adalah 15 persen sehingga ini merupakan indikasi bagi public bahwa produsen akan menaikan harga produksinya minimal 15 persen.
Apa yang dilakukan oleh Menteri Keuangan dan Asosiasi Pengusaha berjalan sinkron, namun keduannya tidak berjalan sinkron dengan ucapan presiden yang menentang kenaikan harga BBM. Lebih dari itu dari sisi kebijakan ekonomi asumsi sticky prices menjadi terbantahkan yang berimplikasi serius bagi efektifitas kebijakan fiscal yang seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah, padahal defisit APBN yang sudah dilakukan itu seharusnya justru dapat diperbesar untuk menetralisir subsidi BBM yang meningkat.
Para kreditur utang luar negeri Indonesia bersama mafia Berkeley telah merancang budaya ekonomi agar deficit itu dipergunakan utamanya untuk membayar hutang luar negeri pemerintah Indonesia (trade off) atau “gali lobang tutup lubang” saja. Proyeksi optimis pada tahun 2008 ini diperkirakan rasio deficit APBN terhadap PDB di Indonesia adalah sebesar minus 1,8 persen dan kalaupun harga minyak mencapai 150 dolar per barel maka rasio itu tidak akan lebih dari 3 persen sebagaimana yang dipersyaratkan oleh undang-undang keuangan Negara.
Kondisi itu dapat dicapai sepanjang Bank Indonesia menurunkan BI rate hingga tingkat suku bunga obligasi pemerintah dengan maturity 10 tahun mencapai 4 persen per tahun. Sesuai yang telah diteliti oleh Bernanke dimana Bernanke, Gertler dan Watson (1997) mengatakan bahwa penyebab utama resesi bukanlah harga minyak tetapi respon endogen dari kebijakan moneter. Penurunan tingkat suku bunga ini pada gilirannya akan mengurangi beban pembayaran bunga pada APBN dan memberikan stimulasi ekonomi yang berpotensi meningkatkan penerimaan pajak.
Kliesen (2008) yang juga ekonom dari Fed membuktikan bahwa kenaikan harga minyak semakin tidak sensitive terhadap perekonomian Amerika Serikat dan efek jangka panjang terhadap inflasi juga sangat kecil. Artinya focus Negara berkembang adalah switching domestic demand untuk jangka pendek. Misalnya, Malaysia diproyeksikan akan mencapai deficit sebesar 3,2 persen pada tahun 2008 ini dan Pakistan akan mencapai 5,2 persen. Sedangkan Thailand dan India masing-masing 3 persen dan 3,1 persen. Itu menunjukkan bahwa teori natural rate of unemployment bukan hanya terjadi dalam jangka panjang tetapi juga jangka pendek dan menengah.
Juga perlu dicamkan bahwa pengangguran di Negara sedang berkembang bersifat structural akibatnya menganggur merupakan barang mewah! Artinya ruang deficit pada perekonomian Indonesia masih terbuka sangat lebar, namun tidak dipergunakan sebagaimana mestinya karena pola pikir Mafia Berkeley dan dokrin IMF serta Bank Dunia masih diterapkan secara dogmatis oleh Kabinet SBY-JK. Harga minyak yang tanggung oleh konsumen di Indonesia hanya sedikit lebih murah dari harga minyak yang ditanggung oleh Malaysia dan Amerika Serikat, artinya dengan biaya bahan bakar yang relative murah seperti ini yang jika dikombinasikan dengan biaya modal yang murah akan menghasilkan daya saing produksi nasional yang semakin tinggi untuk memenangkan persaingan global.
Menaikan harga BBM domestic sama saja dengan menaikan daya saing produk buatan Malaysia dan Amerika Serikat serta Negara lainnya. Selain itu, menaikkan harga BBM domestic juga merupakan disinsentif bagi pemerintah untuk meningkatkan investasi migas di dalam negeri dalam meningkatkan produksi migas di dalam negeri yang justru memperlihatkan tren yang terus terpuruk. Belum lagi kenaikan harga domestic BBM di tengah tingginya harga komoditas dunia akan mengancam stagflasi perekonomian Indonesia yang hingga kini sudah memperlihatkan tanda-tanda penurunan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan permanent income hypothesis (life cycle) dan Teori Modigliani-Miller maka kenaikan harga BBM domestic dipastikan menurunkan ekspektasi konsumsi dan investasi pada perekonomian Indonesia secara simultan akan terjadi di masa depan apalgi jika pemerintah secara latah menaikkan harga BBM. Terakhir sebagaimana yang dikatakan almarhum Begawan Ekonomi Prof Sumitro Djoyohadikusumo dimana APBN Indonesia bocor rata-rata 30 persen maka kalau saja pemerintah mau mengurangi kebocoran ini dipastikan pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM domestic.
Upaya pemerintah untuk memangkas anggaran departemen secara hantam rata bukan hanya berdampak pada penurunan kapasitas public tetapi justru juga akan meningkatkan kebocoran akibat inefisiensi tersebut karena para birokrat sudah mengekspektasikan besaran korupsi sebasar 30 persen dari RAPBN sebelum terjadinya pemotongan. Reformasi yang berhasil seharusnya membuat pemerintah tidak lagi latah dalam menaikan harga BBM di dalam negeri seperti di masa lalu karena reformasi juga harus merubah budaya kebijakan ekonomi yang tidak lagi latah menaikan harga BBM.
Menaikkan harga BBM domestic secara latah bukan hanya membuat rakyat Indonesia tambah susah tetapi juga merusak social capital yang telah tercipta selama ini melalui proses reformasi yang sangat mahal itu. Konsekuensi lainnya yang sangat serius adalah kebijakan fiscal akan menjadi semakin tidak efektif sebagaimana yang ditakutkan oleh Robert Lucas peraih hadiah Nobel Ekonomi. Ada baiknya pemerintah belajar dari Bourdieu, untuk jangan sekali-kali menganggap enteng social capital dengan melanggar janjinya sendiri!

Read More..

HINDARI KENAIKAN BBM

Achmad Deni Daruri
President Director Center for Banking Crisis

Peraih nobel ekonomi Jan Tinbergen mengatakan bahwa perbedaan rasio pendapatan antara penduduk yang termiskin dengan yang paling kaya tidak boleh melebihi 1:5, karena dapat membuat perekonomian menjadi tidak efisien dan produktif. Artinya, kebijakan ekonomi pemerintah haruslah berorientasi kepada penurunan perbedaan antara yang kaya dan miskin.
Dengan demikian kebijakan ekonomi haruslah dipikirkan secara serius dan bukan mencari gampangnya saja. Menaikan harga BBM merupakan keputusan yang paling mudah yang dapat dilakukan oleh pemerintah semudah membalik tangan. Yang paling sulit adalah mencari solusi agar harga BBM tidak naik sehingga rakyat tidak semakin menderita. Seharusnya tugas pemerintah adalah melindungi rakyatnya dari kesulitan ekonomi sehingga pejabat pemerintah haruslah berani dan mampu berpikir ekstra keras untuk menghindari kenaikan harga minyak.
Banyak prediksi memperlihatkan (misalnya IMF, Bank Dunia dan PBB) bahwa harga minyak akan terus meningkat hingga beberapa tahun ke depan sehingga harga-harga komoditas juga ikut meningkat. Rata-rata keseimbangan harga minyak internasional diperkirakan akan bertengger pada kisaran 180 dolar per barel. Kenaikan harga-harga tersebut berada di luar control Negara manapun di dunia, apalagi Negara seperti Indonesia yang termasuk dalam small open economy.
Konsekuensinya kebijakan yang efektif untuk memompa perekonomian domestic adalah gabungan antara kebijakan moneter dan fiscal. Kebijakan moneter harus konsisten dalam menurunkan pertumbuhan tingkat suku bunga dan kebijakan fiscal harus bersifat ekspansif. Kombinasi dari kedua kebijakan ini akan mampu mempertahankan subsidi BBM karena rasio deficit APBN terhadap PDB (produk Domestik Bruto) tidak akan lebih dari 3 persen sekalipun rata-rata harga minyak bertengger pada 180 dolar per barel.
Capital outflow juga tidak akan terjadi karena turunnya suku bunga karena justru akan menyebabkan harga asset (termasuk saham) akan meningkat karena ekspektasi keuntungan perusahaan yang meningkat. Konkretnya, kenaikan harga BBM sangat bertentangan dengan program ekspansi fiscal termasuk dengan diberlakukannya program alokasi social dengan dana kompensasi dari subsidi yang berasal dari subsidi BBM.
Alokasi dana subsidi dari BBM ke program jaminan social (baik tunai maupun tunai) terhadap kelompok miskin dipastikan tidak akan membuat kelompok miskin menjadi lebih baik. Alasan utamanya adalah kelompok miskin akan terpukul lebih besar daya belinya karena kenaikan harga BBM ketimbang kelompok kaya karena kelompok miskin memiliki elastisitas sangat tinggi relative terhadap kelompok kaya.
Berdasarkan permanent income theory maka penurunan daya beli ini akan menurunkan tingkat konsumsi. Padahal kelompok miskin sudah mengkonsumsi secara minimal di bawah batas kehidupan normal yang sehat sehingga kualitas kehidupannya bukan hanya menurun tetapi juga kesehatannya juga memburuk. Sampai saat ini pemerintah belum pernah mengeluarkan perhitungan Elastisitas Frisch dari setiap wilayah di Indonesia.
Semakin elastis Frisch elasticity-nya maka akan semakin tereksploitasi para buruh dari kelompok miskin ketika harga BBM dinaikan. Jelas kenaikan harga BBM justru memperbesar jurang kekayaan antara penduduk termiskin dengan yang terkaya sehingga menurut Tinbergen kebijakan seperti ini harus dihindari. Program pemerintah sebagai kompensasi kenaikan BBM bagi masyarakat miskin juga tidak memiliki focus dan memiliki prioritas yang tidak jelas, misalnya ada program tunai dan non tunai. Sedangkan program non tunai dapat berupa biaya kesehatan, biaya sekolah dan sebagainya.
Pertanyaannya sampai saat ini pemerintah belum melakukan penelitian sampai sejauh mana kenaikan harga BBM meningkatkan willingness to pay bagi kesehatan, makanan, pendidikan, perumahan, transportasi atau dimensi lainnya dari penduduk msikin dan yang akan miskin akibat kenaikan herga BBM. Belum lagi tingkat kebutuhan masyarakat miskin setiap daerah tentu memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Masyarakat miskin di Jakarta tentu berbeda dengan masyarakat miskin di Papua atau NTT.
Pemerintah terlihat terlalu menganggap remeh hal ini sehingga cenderung menyamaratakan semua masyarakat miskin di semua wilayah. Profil piramida kependudukan suatu wilayah miskin juga akan menentukan seberapa elastis terjadinya penurunan daya beli akibat persentase tertentu dari kenaikan harga BBM. Daerah dengan dependent rasio yang tinggi (penduduk non produktif yang besar) tentu berbeda dengan daerah yang dependent rasio yang lebih rendah walaupun sama-sama miskin. Belum lagi data jumlah penduduk miskin sendiri masih dalam perdebatan, misalnya data kemiskinan BPS ternyata jauh lebih rendah dari data kemiskinan Bank Dunia.
Berdasarkan data dan metodologi perhitungan kemiskinan yang digunakan tampak jelas bahwa Bank Dunia lebih baik ketimbang BPS. Konsekuensinya, penduduk miskin sesungguhnya jauh lebih besar dari yang diprediksikan oleh pemerintah. Secara politis, pemerintah tentu akan berupaya menggunakan data kemiskinan BPS karena hanya memerlukan dana kompensasi yang lebih murah.
Sampai saat ini program kompensasi kenaikan harga BBM selalu menggunakan data BPS maka dapat dibayangkan besarnya penduduk miskin yang tidak memperoleh kompensasi tersebut selama ini dan yang akan datang. Kenaikan harga BBM menyebabkan permanent income loss, sedangkan program kompensasinya paling maksimal hanya berlaku satu tahun. Belum lagi jika kita bicara tentang efektifitas birokrasi di Indonesia yang menurut World Economic Forum sangat buruk. Dalam kondisi yang seperti itu maka program kompensasi kenaikan harga BBM bagi masyarakat miskin di Indonesia sebetulnya merupakan wishfull thinking.
Belum lagi, Program Nasional Pendampingan Mandiri (PNPM) yang besarnya mencapai 30 persen dari setiap departemen dengan pimpinan Menko Kesra melibatkan verifikasi dari Bank Dunia dan pendampingnya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang merupakan afiliasi pemerintah. Sementara konsultan verifikasinya Bank Dunia adalah kakak dari Menteri Keuangan Sri Mulyani dari Lembaga UKM FEUI.
Dimana kedaulatan pemerintah Indonesia karena dana APBN justru diverifikasi oleh Bank Dunia? Mengapa Bank Dunia yang konsep kemiskinannya ditolak ternyata diminta melakukan verifikasi? Perlu diingat bahwa Bank Dunia tidak memiliki kantor cabang hingga level propinsi apalagi kecamatan di seluruh Indonesia. Jika Bank Dunia nantinya akan membangunan kantor cabang hingga propinsi agar program verifikasi dapat termonitor dengan baik, maka berapa besar biaya yang diperlukan. Sudah pasti ujung-ujungnya biaya tersebut juga harus disediakan oleh APBN.
Padahal sebagai Negara berdaulat yang melindungi rakyatnya, pemerintah Indonesia seharusnya menggunakan konsep kemiskinan Bank Dunia dimana rakyat miskin yang terhitung lebih besar dari konsep BPS, dan menolak verifikasi oleh Bank Dunia karena membuat bangsa Indonesia tidak dapat berdiri di atas kaki sendiri. Bank Dunia bukanlah lembaga malaikat karena Bank Dunia memiliki kepentingan yang berbeda dengan kepentingan Bangsa Indonesia. Bank Dunia sangat dipengaruhi oleh misi ekonomi dan politik dari Negara-negara maju yang berkepentingan untuk mensejahterakan rakyatnya sendiri.
Karena itu bukannya tidak mungkin bahwa staf Bank Dunia merupakan agen intelejen asing. Kondisi masyarakat miskin di Indonesia mirip dengan yang diceritakan oleh Gunnar Myrdal (1944) dalam An American Dilemma: Negro Problem and Modern Democracy dimana reformasi di Indonesia yang katanya membuat Indonesia semakin demokratis justru semakin menghasilkan kebijakan ekonomi yang memberatkan penduduk miskin yang tersebar dari Sabang hingga Marauke. Untuk itu, hentikan kenaikan harga BBM supaya kesenjangan pendapatan di masyarakat tidak semakin besar yang menurut Tinbergen justru menyebabkan kontraproduktif!

Read More..