Rabu, 21 Mei 2008

HINDARI KENAIKAN BBM

Achmad Deni Daruri
President Director Center for Banking Crisis

Peraih nobel ekonomi Jan Tinbergen mengatakan bahwa perbedaan rasio pendapatan antara penduduk yang termiskin dengan yang paling kaya tidak boleh melebihi 1:5, karena dapat membuat perekonomian menjadi tidak efisien dan produktif. Artinya, kebijakan ekonomi pemerintah haruslah berorientasi kepada penurunan perbedaan antara yang kaya dan miskin.
Dengan demikian kebijakan ekonomi haruslah dipikirkan secara serius dan bukan mencari gampangnya saja. Menaikan harga BBM merupakan keputusan yang paling mudah yang dapat dilakukan oleh pemerintah semudah membalik tangan. Yang paling sulit adalah mencari solusi agar harga BBM tidak naik sehingga rakyat tidak semakin menderita. Seharusnya tugas pemerintah adalah melindungi rakyatnya dari kesulitan ekonomi sehingga pejabat pemerintah haruslah berani dan mampu berpikir ekstra keras untuk menghindari kenaikan harga minyak.
Banyak prediksi memperlihatkan (misalnya IMF, Bank Dunia dan PBB) bahwa harga minyak akan terus meningkat hingga beberapa tahun ke depan sehingga harga-harga komoditas juga ikut meningkat. Rata-rata keseimbangan harga minyak internasional diperkirakan akan bertengger pada kisaran 180 dolar per barel. Kenaikan harga-harga tersebut berada di luar control Negara manapun di dunia, apalagi Negara seperti Indonesia yang termasuk dalam small open economy.
Konsekuensinya kebijakan yang efektif untuk memompa perekonomian domestic adalah gabungan antara kebijakan moneter dan fiscal. Kebijakan moneter harus konsisten dalam menurunkan pertumbuhan tingkat suku bunga dan kebijakan fiscal harus bersifat ekspansif. Kombinasi dari kedua kebijakan ini akan mampu mempertahankan subsidi BBM karena rasio deficit APBN terhadap PDB (produk Domestik Bruto) tidak akan lebih dari 3 persen sekalipun rata-rata harga minyak bertengger pada 180 dolar per barel.
Capital outflow juga tidak akan terjadi karena turunnya suku bunga karena justru akan menyebabkan harga asset (termasuk saham) akan meningkat karena ekspektasi keuntungan perusahaan yang meningkat. Konkretnya, kenaikan harga BBM sangat bertentangan dengan program ekspansi fiscal termasuk dengan diberlakukannya program alokasi social dengan dana kompensasi dari subsidi yang berasal dari subsidi BBM.
Alokasi dana subsidi dari BBM ke program jaminan social (baik tunai maupun tunai) terhadap kelompok miskin dipastikan tidak akan membuat kelompok miskin menjadi lebih baik. Alasan utamanya adalah kelompok miskin akan terpukul lebih besar daya belinya karena kenaikan harga BBM ketimbang kelompok kaya karena kelompok miskin memiliki elastisitas sangat tinggi relative terhadap kelompok kaya.
Berdasarkan permanent income theory maka penurunan daya beli ini akan menurunkan tingkat konsumsi. Padahal kelompok miskin sudah mengkonsumsi secara minimal di bawah batas kehidupan normal yang sehat sehingga kualitas kehidupannya bukan hanya menurun tetapi juga kesehatannya juga memburuk. Sampai saat ini pemerintah belum pernah mengeluarkan perhitungan Elastisitas Frisch dari setiap wilayah di Indonesia.
Semakin elastis Frisch elasticity-nya maka akan semakin tereksploitasi para buruh dari kelompok miskin ketika harga BBM dinaikan. Jelas kenaikan harga BBM justru memperbesar jurang kekayaan antara penduduk termiskin dengan yang terkaya sehingga menurut Tinbergen kebijakan seperti ini harus dihindari. Program pemerintah sebagai kompensasi kenaikan BBM bagi masyarakat miskin juga tidak memiliki focus dan memiliki prioritas yang tidak jelas, misalnya ada program tunai dan non tunai. Sedangkan program non tunai dapat berupa biaya kesehatan, biaya sekolah dan sebagainya.
Pertanyaannya sampai saat ini pemerintah belum melakukan penelitian sampai sejauh mana kenaikan harga BBM meningkatkan willingness to pay bagi kesehatan, makanan, pendidikan, perumahan, transportasi atau dimensi lainnya dari penduduk msikin dan yang akan miskin akibat kenaikan herga BBM. Belum lagi tingkat kebutuhan masyarakat miskin setiap daerah tentu memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Masyarakat miskin di Jakarta tentu berbeda dengan masyarakat miskin di Papua atau NTT.
Pemerintah terlihat terlalu menganggap remeh hal ini sehingga cenderung menyamaratakan semua masyarakat miskin di semua wilayah. Profil piramida kependudukan suatu wilayah miskin juga akan menentukan seberapa elastis terjadinya penurunan daya beli akibat persentase tertentu dari kenaikan harga BBM. Daerah dengan dependent rasio yang tinggi (penduduk non produktif yang besar) tentu berbeda dengan daerah yang dependent rasio yang lebih rendah walaupun sama-sama miskin. Belum lagi data jumlah penduduk miskin sendiri masih dalam perdebatan, misalnya data kemiskinan BPS ternyata jauh lebih rendah dari data kemiskinan Bank Dunia.
Berdasarkan data dan metodologi perhitungan kemiskinan yang digunakan tampak jelas bahwa Bank Dunia lebih baik ketimbang BPS. Konsekuensinya, penduduk miskin sesungguhnya jauh lebih besar dari yang diprediksikan oleh pemerintah. Secara politis, pemerintah tentu akan berupaya menggunakan data kemiskinan BPS karena hanya memerlukan dana kompensasi yang lebih murah.
Sampai saat ini program kompensasi kenaikan harga BBM selalu menggunakan data BPS maka dapat dibayangkan besarnya penduduk miskin yang tidak memperoleh kompensasi tersebut selama ini dan yang akan datang. Kenaikan harga BBM menyebabkan permanent income loss, sedangkan program kompensasinya paling maksimal hanya berlaku satu tahun. Belum lagi jika kita bicara tentang efektifitas birokrasi di Indonesia yang menurut World Economic Forum sangat buruk. Dalam kondisi yang seperti itu maka program kompensasi kenaikan harga BBM bagi masyarakat miskin di Indonesia sebetulnya merupakan wishfull thinking.
Belum lagi, Program Nasional Pendampingan Mandiri (PNPM) yang besarnya mencapai 30 persen dari setiap departemen dengan pimpinan Menko Kesra melibatkan verifikasi dari Bank Dunia dan pendampingnya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang merupakan afiliasi pemerintah. Sementara konsultan verifikasinya Bank Dunia adalah kakak dari Menteri Keuangan Sri Mulyani dari Lembaga UKM FEUI.
Dimana kedaulatan pemerintah Indonesia karena dana APBN justru diverifikasi oleh Bank Dunia? Mengapa Bank Dunia yang konsep kemiskinannya ditolak ternyata diminta melakukan verifikasi? Perlu diingat bahwa Bank Dunia tidak memiliki kantor cabang hingga level propinsi apalagi kecamatan di seluruh Indonesia. Jika Bank Dunia nantinya akan membangunan kantor cabang hingga propinsi agar program verifikasi dapat termonitor dengan baik, maka berapa besar biaya yang diperlukan. Sudah pasti ujung-ujungnya biaya tersebut juga harus disediakan oleh APBN.
Padahal sebagai Negara berdaulat yang melindungi rakyatnya, pemerintah Indonesia seharusnya menggunakan konsep kemiskinan Bank Dunia dimana rakyat miskin yang terhitung lebih besar dari konsep BPS, dan menolak verifikasi oleh Bank Dunia karena membuat bangsa Indonesia tidak dapat berdiri di atas kaki sendiri. Bank Dunia bukanlah lembaga malaikat karena Bank Dunia memiliki kepentingan yang berbeda dengan kepentingan Bangsa Indonesia. Bank Dunia sangat dipengaruhi oleh misi ekonomi dan politik dari Negara-negara maju yang berkepentingan untuk mensejahterakan rakyatnya sendiri.
Karena itu bukannya tidak mungkin bahwa staf Bank Dunia merupakan agen intelejen asing. Kondisi masyarakat miskin di Indonesia mirip dengan yang diceritakan oleh Gunnar Myrdal (1944) dalam An American Dilemma: Negro Problem and Modern Democracy dimana reformasi di Indonesia yang katanya membuat Indonesia semakin demokratis justru semakin menghasilkan kebijakan ekonomi yang memberatkan penduduk miskin yang tersebar dari Sabang hingga Marauke. Untuk itu, hentikan kenaikan harga BBM supaya kesenjangan pendapatan di masyarakat tidak semakin besar yang menurut Tinbergen justru menyebabkan kontraproduktif!

Tidak ada komentar: